Libya timur kini dikuasai oleh demonstran, termasuk kota terbesar kedua Benghazi, setelah berhari-hari konflik berdarah yang menewaskan banyak warga sipil. Di sini, militer Libya telah meletakkan senjata dan meninggalkan pos-pos mereka untuk bergabung bersama demonstran menuntut diakhirinya kekuasaan Muammar Gaddafi.
Wartawan Washington Post, Leila Fadel, melakukan perjalanan memasuki wilayah ini dari perlintasan Tobruk di timur laut Libya yang berbatasan dengan Mesir. Berikut laporannya yang dimuat Washingtonpost.com, Rabu (23/2):
Di perbatasan timur laut Libya, tak ada prosedur pemeriksaan visa maupun paspor oleh petugas. Hanya tampak sekumpulan pemuda bersenjata yang melambaikan tangan kepada orang-orang yang melintas. Mereka adalah para tentara dan polisi yang membelot dan bergabung bersama rakyat. “Selamat datang di Libya baru,” tulis grafiti di pos perlintasan.
Salah satu pemuda dengan antusias menunjukkan rekaman video di layar ponselnya. Peristiwa dalam rekaman tersebut, ujarnya, adalah saat tentara bayaran pemerintah menembaki rakyat, termasuk wanita dan anak-anak. Ia juga mengatakan pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan terjadi dalam pekan-pekan terakhir, seiring meningkatnya perlawanan demontran dan aksi penumpasan yang makin keras oleh pemerintah.
“Pemimpin kami seorang tiran, dia akan membunuh kami dengan darah dingin,” kata Hassan el-Modeer, seorang insinyur jebolan Inggris. “Dunia harus turun tangan segera.”
Kepada pengunjung, pendukung oposisi menjelaskan wilayah ini sebagai ‘kawasan Libya Timur yang telah dibebaskan’. Sentiment antipemerintah sangat tinggi di sini.
Namun, juga tampak jelas bahwa perbedaan besar masih ada. Bahkan di kota pesisir Tobruk, yang berjarak 900 mil dari Tripoli dan merupakan wilayah yang minim pengaruh Tropoli, sejumlah warga masih mendukung Gaddafi.
Di jalan utama perbatasan dengan Mesir, dua pemuda melambai dari mobil mereka ke arah pos perbatasan yang tak lagi bertuan. Salam Mheishi, 17, salah satu penumpang, tampak memangku senapan. Sementara truk-truk melintas cepat mengangkut orang-orang yang meneriakkan ‘Tuhan, Muammar, Libya’.
“Sang Kolonel telah berbicara,” ujar salah seorang di dalam mobil tadi, merujuk pada pidato Gaddafi yang baru saja disiarkan televisi. Lalu, tembakan ke udara menggema di udara malam. “Mereka mencintainya. Kami mencintainya.”
Seorang guru lalu mendekati mobil mereka dan berteriak di dalamnya. “Presiden, Hillary Clinton, PBB, dan kelompok HAM harus turun tangan,” katanya. “Orang-orang dibunuh di jalanan Tripoli. Dia psikopat, dan dia akan menciptakan bencana.”
Mheishi mendengarkan. Layar ponselnya memiliki gambar latar Gaddafi. Ia kemudian membela pemimpinnya itu dan menyalahkan para penjahat yang membuat protes damai menjadi kekerasan. Ia menunjuk dengan bangga ke arah sebuah vila yang terletak di jalan itu. Itu, katanya, milik Saif al-Islam, putra Gaddafi.
“Kita punya uang di sini, dan orang-orang senang. Ketika penjahat dilepas dari penjara, mereka merebut tank-tank dan senjata dan menjarah toko-toko,” kata Mheishi. “Orang-orang menginginkan perdamaian dan stabilitas. Mereka menginginkan presiden.”
Di jalan ini, kami juga melambaikan tangan kepada sekelompok pemuda memegang senjata dan tongkat. Mereka mengenakan sebagian seragam polisi dan tentara, yang mereka dapatkan dari para desertir. Sementara kebanyakan persenjataan ringan diberikan oleh militer.
Di berbagai penjuru Libya Timur, desertir tentara dan polisi bergabung dengan demonstran. Banyak yang mengatakan mereka membelot setelah saudara, tetangga, atau kerabat mereka terbunuh dalam apa yang digambarkan sebagai pembantaian.
Attiya el Sabr, 32, seorang penjaga perbatasan, mengatakan ia membelot Kamis lalu setelah saudara iparnya ditembak di Tobruk. “Keamanan Libya kini vakum, tak ada kontrol sekarang,” katanya. “Orang-orang sipil yang kini mempertahankan wilayah ini.”
Bahkan pejabat militer pun membelot. Ia mengatakan, Ahad, Mayjen Suleiman Mahmoud, komandan wilayah Tobruk, melepas sepatunya dan memasuki masjid. Di dalam masjid ia member penghormatan kepada para martir revolusi dan mengatakan kepada orang-orang ia kini bersama mereka. Ratusan orang mengerumuninya dan menangis.
Mahmoud mengatakan ia turut bergabung dalam revolusi Gaddafi tahun 1969. Namun selama beberapa hari ini keluarganya meyakinkannya untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah. Putrinya, yang bergelar doktor, menangis di telepon, menceritakan tentang ratusan orang yang terbunuh di kota kediamannya, Benghazi. Banyak di antaranya para remaja, dan beberapa anak-anak tetangga.
“Saya memutuskan untuk mundur dari tentara revolusioner dan bergabung dengan rakyat,” kata Mahmoud, masih mengenakan seragamnya, Selasa malam.
“Saya tak mengira seorang pejuang revolusi menantang raja dari rajanya Afrika,” katanya, merujuk pada gelar yang diberikan Gaddafi pada dirinya sendiri. “Revolusi kini meruntuhkan bangunan lama dan membangun sebuah dunia kebebasan, nilai-nilai luhur, kejujuran, dan perdamaian, dan cinta.”
Ia mengatakan AS dan kekuatan-kekuatan asing lainnya seharusnya tak menerapkan standar ganda kepada Libya karena minyaknya. Ia mengaku sadar bahwa pilihan untuk membelot ini berbahaya dan konsekuensinya nyawa jika revolusi ini gagal. “Mungkin berikutnya Anda datang ke Tolbruk, Anda menemukan kuburan saya,” katanya.
Beberapa figur oposisi masih terlalu takut untuk memberikan nama mereka kepada wartawan. Namun, di sebuah lobi hotel, Modeer, sang insinyur tadi, mengatakan dirinya bersedia berbicara melawan apa yang disebutnya atokrasi Gaddafi yang meremukkan pemerintahan.
“Di Tripoli, mereka menembaki orang-orang dengan darah dingin,” katanya, dengan air mata bercucuran di pipinya. “Kami tak punya pilihan lain. Kami memang atau mati.”
Modeer lalu menarik sepucuk pistol kecil dari sakunya. “Hanya ini yang saya punya. Enam peluru.”
( disadur dari : republika.co.id )
0 komentar:
Posting Komentar