Rabu, 11 Juli 2012

Inilah Beberapa Contoh Survei yang Tak Sesuai Kenyataan


Anomali dalam ilmu sosial. Begitulah penjelasan Denny JA atas fenomena hasil pemungutan suara dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Anomali, menurut pendiri lembaga riset dan konsultan politik Lingkaran Survei Indonesia (LSI), adalah hal yang biasa, walaupun anomali sendiri artinya adalah kejadian yang tak biasa.

Karena merupakan kejadian yang tak bias, kemunculan anomali hanya sesekali, dan jarang sekali. 

Sebelum pemungutan suara, semua lembaga survei politik memperkirakan bahwa Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan memimpin perolehan suara. Sementara Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama diperkirakan akan berada di posisi kedua, jauh di belakang pasangan Foke-Nara. 
Namun, penghitungan cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei itu beberapa saat setelah pemungutan suara usai dilakukan (Rabu, 11/7) memperlihatkan hasil sebaliknya. Jokowi-Ahok memimpin perolehan suara, meninggalkan Foke-Nara.

Denny JA sedang mengunjungi beberapa kota di Eropa bersama keluarga. Saat menjelaskan fenomena anomali survei dan hasil penghitungan cepat ini, ia tengah menikmati keindahan Moskow di Rusia, usai. Walau sedang berlibur, Denny JA tak melewatkan begitu saja pertarungan di arena pilkada DKI Jakarta.

Anomali dalam pemilihan gubernur kali ini, menurut Denny dipicu oleh kehadiran sosok Joko Widodo yang punya daya pikat luar biasa. Daya pikat inilah yang mampu menggerakkan swing voters dalam jumlah massif sepekan sebelum hari pemungutan suara. Sementara, semua lembaga survei politik berhenti melakukan survei pada H-7. 
  
Anomali, masih menurut Denny JA, bukan sebuah keanehan. Bahkan di Amerika Serikat yang dikenal sebagai negeri tempat tradisi riset dan survei politik lahir dan berkembang sekalipun hal seperti ini pernah terjadi. 

Untuk memperkuat pendapatnya, Denny JA memberikan tiga kasus anomali survei dan riset politik di Amerika Serikat. 

Kasus pertama, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1980 saat Jimmy Carter melawan Ronald Reagan. Lembaga polling papan atas Gallup memperkirakan Carter akan memperoleh 44 persen dukungan dan mengalahkan Reagan (41 persen). Namun pada kenyataannya, Reagan-lah yang menang dengan 50,7 persen. Sementara Carter memperoleh 41 persen. 

Kasus kedua terjadi dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1988. New York Times/CBS memperkirakan Michael Dukakis akan memukul George Bush Sr. Menurut survei New York Times/CBS Dukakis akan memperoleh 49 persen suara dan Bush mengantongi 39 persen. 

Setelah pemungutan suara, Bush ternyata memenangkan pemilihan presiden dengan 53,4 persen, mengalahkan Dukakis (45,6 persen). 

Pemilihan presiden Amerika Serikat berikutnya di tahun 1992 juga kembali diwarnai anomali. Dalam pemilihan itu, tiga kandidat bertarung. Ketiganya adalah George Bush Sr. dari Partai Republik, Bill Clinton dari Partai Demokrat dan Ross Perot yang merupakan kandidat independen. 

Time/CNN memperkirakan Ross Perot akan menang dengan 37 persen suara. Sementara Bush dan Clinton akan memperoleh jumlah dukungan yang sama, yakni 24 persen. 

Namun hasil riel memperlihatkan, Clinton memperoleh 43 persen suara, diikuti Bush (37.4 persen). Adapun Perot kandas di tempat ketiga dengan 18,9 persen. 

Walaupun anomali masih mungkin terjadi, namun fakta  yang tak bisa diingkari, masih menurut Denny JA dalam penjelasannya via pesan pendek, “Membaca peta dukungan pemilih tetap jauh lebih akurat melalui lembaga survei yg punya track rekocd panjang walau pernah salah dibandingkan berdasarkan feeling atau analisa di belakang meja.” 

LSI yang dipimpinnya, sambung Denny JA, sudah lebih dari 100  kali mempublikasikan prediksi hasil perolehan suara dalam pemilihan umum. Sejauh ini hanya empat  prediksi yang meleset, termasuk dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta kali ini.

“Ini anomali. Tapi di masih di bawah 10 persen. Artinya masih akurat di atas 90 persen. Track record itu bisa diuji,” demikian Denny JA.

0 komentar:

Posting Komentar