Minggu, 27 Februari 2011

Menggelikan dan Memalukan



KOALISI memasuki tahap paling menggelikan sekaligus memalukan. Partai Demokrat sudah tak betah berkoalisi dengan Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahkan dengan bermacam-macam ekspresi telah mendorong kedua partai itu agar keluar dari koalisi.

Akan tetapi, Golkar dan PKS tidak membacanya sebagai dorongan untuk keluar, apalagi merasa diusir dari koalisi, dengan argumentasi berbeda pendapat adalah perkara wajar dalam politik. Wajar sekalipun di dalam koalisi itu mereka acap berseberangan kepentingan politik. 

Kedua partai kian hari kian jelas menjadi kerikil dalam sepatu koalisi. Itulah kerikil yang semakin tajam dan semakin menyakiti, tetapi melawan ketika hendak dibuang.

Begitulah, di satu pihak menggelikan melihat Partai Demokrat yang berkuasa tidak benar-benar berani mengusir dan di lain pihak memalukan melihat Golkar dan PKS tidak merasa hendak diusir.

Puncak persoalan terjadi dalam perkara hak angket mafia pajak. Golkar dan PKS mendukung penuh pelaksanaan hak penyelidikan DPR terhadap kasus mafia pajak itu.

Padahal, koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono tentu berkepentingan menghadang hak angket tersebut. Hak angket bisa berlanjut ke hak menyatakan pendapat yang berujung pada pemakzulan.

Menjelang hak angket diputuskan di DPR, Golkar dan PKS berkoar-koar siap keluar dari koalisi sebagai konsekuensi dari dukungan mereka terhadap hak angket. Kedua partai juga berkoar-koar bahwa mereka siap jika menteri mereka di-reshuffle dari kabinet.

Golkar mendukung hak angket pajak, seperti dikatakan wakil ketua umum mereka, Priyo Budi Santoso, untuk membersihkan citra Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie di mata publik. Tiga perusahaan Bakrie pernah disebut Gayus sebagai perusahaan pengemplang pajak.

Di sisi lain, Golkar juga paham betul Partai Demokrat sebagai partai berkuasa tetap membutuhkan Golkar di DPR.

Adapun PKS mengusung dan mendukung hak angket sepertinya untuk memenuhi aspirasi konstituen mereka. Tujuannya apalagi kalau bukan sedikitnya mempertahankan perolehan suara pada Pemilu 2014.

Hak angket itu jelas menguntungkan Golkar dan PKS. Dengan mendukung hak angket, nama mereka harum di mata publik, tetapi dengan mudarat di pihak Partai Demokrat yang berkuasa.

Setelah melalui voting, Golkar dan PKS kalah. Hak angket pun kandas. Partai Demokrat kemudian menyeru agar Presiden Yudhoyono mengevaluasi keberadaan Golkar dan PKS di koalisi dan kabinet.

Bahkan kian kencang suara mereka mendorong agar Golkar dan PKS keluar dari koalisi.

Namun, yang didorong tidak merasa sebenarnya sudah pada tahap diusir. Bukankah itu menggelikan dan memalukan?



( disadur dari : mediaindonesia.com )

0 komentar:

Posting Komentar